Partai Ideologis Harus Tetap Ada

Oleh Mohammad Masduki
Pendiri dan Peneliti The Medina Institute

(Tanggapan atas artikel berjudul Parpol Ideologis, Masih Pentingkah? yang ditulis oleh Daniel Mohammad Rosyid, Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur).

Suaralantang.com, LANTANG – Hari ini, Rabu 14 April 2021, portal pwmu.co memuat tulisan berjudul “Parpol Ideologis, Masih Pentingkah?”. Ditulis oleh Daniel Mohammad Rosyid.

https://pwmu.co/186907/04/14/parpol-ideologis-masih-pentingkah/

Sebagai seorang yang sedikit banyak bersinggungan dengan obyek tulisan, perlu memberikan tanggapan pada beberapa statement. Tentu dengan harapan akan dapat muncul sintesa yang mencerahkan.


Daniel Mohammad Rosyid (DMR). Nama yg cukup dikenal. Terutama bagi para aktifis. Setidaknya di Jawa Timur. Belakangan mulai menasional akibat pendapat2nya yg dianggap bermasalah oleh sebagian kalangan.

Mungkin DMR ditakdirkan utk terus menjadi intelektual yg kebingungan sepanjang hidup. Atau terus berteriak kencang diluar stadion. Mungkin juga sebaliknya, dia akan segera menemukan koordinat yg tepat dan membawanya ke tempat terbaik.

Setahu saya, dia besar di lingkungan pendidikan ilmu eksak. Menapak pendidikan dan karir sbg PNS di kampus teknik. Wawasan dan pola pikirnya tentu telah terpola secara eksak dan serba teknik mekanik. Serba pasti dan terukur.

Pola pikir eksak dan mekanistik ini akan tajam jika digunakan dalam alam teknis-mekanis juga. Minimal di dunia akademis. Tapi kalau diterapkan dalam alam sosial yang seolah serba tak pasti, sudah tentu akan menemukan banyak benturan dan kebingungan2. Apalagi dalam dunia politik praktis yang ibarat hidup dalam rimba raya yang serba kompleks tak menentu.

DMR sepertinya memaksakan diri masuk kedalam atmosfir yang bukan (belum menjadi) dunianya tanpa menyiapkan diri dengan baik. Mungkin tanpa sengaja terbawa angin.

Dunia politik bukan dunia eksak-mekanis. Siapa yang mau masuk ke dalamnya, harus memulai dari awal, perlahan dan tekun. Seorang tokoh yg sudah pakar didunia luar, belum tentu otomatis menjadi pakar didalam dunia politik (praktis). Begitupun bagi DMR.

Maka, walaupun DMR sudah dikenal sebagai pakar di bidang teknologi misalnya, belum tentu analisis dan pendapatnya tentang politik (praktis) otomatis menjadi tepat dan benar.


Dalam tulisannya yang berjudul “Parpol Ideologis, Masih Pentingkah?” terlihat nyata kedangkalan -untuk tidak menyebut kefatalan- analisisnya dalam dunia politik.

DMR memulai tulisannya sengan menyesali terjadinya reformasi 1998 dan peristiwa2 yang kemudian mengikutinya. Termasuk lahirnya partai politik.

DMR menulis: ~”Baik korporasi maupun partai politik pada hakikatnya sama yaitu agen yang memanfaatkan pasar ekonomi atau politik.
Dengan biaya yang makin tinggi, kedua institusi itu mengadopsi asas yang sama, yaitu pragmatisme dan pop culture. Banyak artis kini anggota parlemen dan bupati. Popularitas lebih penting daripada kredibilitas”.

Mungkin tak sepenuhnya salah. Tapi statemennya itu menunjukkan bahwa dia kurang belajar dengan baik sejarah partai politik nasional pasca reformasi. Terutama bagaimana dinamika para tokoh islam berupaya mengkonsolidasi diri menghadapi era baru yang tiba2 saja terjadi: reformasi.

Reformasi 1998 adalah sebuah realitas yang tak bisa disesali atau dihadapi dengan rasa kecewa dan pesimis. Harus dihadapi dengan keberanian dan optimis. Dengan kondisi apa adanya, konsolidasi para tokoh dari semua ormas islam akhirnya melahirkan parpol ideologis. Ini sebuah langkah yang perlu diapresiasi oleh semua ummat islam.

Kita bertanya, disaat terjadi konsolidasi para tokoh itu, dimana DMR?

Seingat saya, DMR saat itu belum banyak dikenal, kecuali oleh teman-teman dekatnya. Seingat saya juga, dia lebih pada pilihan sikap Golput dalam dunia politik praktis (pemilu). Dia lebih tertarik fokus pada dunia akademik. Posisinya sebagai PNS mungkin menjadi penguat sikapnya untuk tidak tertarik masuk secara formal kedalam dunia politik praktis.

Jadi, kalau hari ini DMS seolah “menyesalkan” reformasi 1998 dan lahirnya banyak parpol, sepertinya ini jauh dari sikap seorang intelektual.

Selanjutnya, DMR sepertinya juga masih bingung dengan apa yang dimaksud sebagai parpol islam ideologis. Dia menyandarkan pendapatnya kepada pendapat umum atau media. Semestinya, sebagai seorang intelektual, sebelum berpendapat dan memberikan penilaian terhadap parpol, harus terlebih dahulu melakukan kajian sejarah dan perkembangan masing2 parpol. Minimal membaca AD dan ART nya. Atau berdialog dengan pihak-pihak yang berkompeten. Disini tampak kecerobohan itu terjadi.

Pada bagian lain DMR juga terkesan provokatif dan dapat menimbulkan sikap saling curiga antara ormas dan parpol. Dia menulis, “Bagi mereka, Ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, HTI atau FPI tidak bisa digunakan sebagai alat perjuangan politik yang efektif untuk melakukan perubahan nyata dan bermakna bagi sebuah masyarakat yang Islami jika bukan masyarakat bersyariah apalagi berkhilafah”.

Selain provokatif, kalimat itu juga menunjukkan kekurangfahaman penulisnya tentang fungsi ormas dan parpol. Ormas memang bukan institusi politik praktis untuk melakukan perjuangan perubahan politik. Demikian itu adalah tugas parpol. Mengapa DMR menggugat ormas utk melakukan itu!

Selanjutnya, DMR juga menyesalkan terjadinya proses amandemen UUD yang menghasilkan apa yg dia sebut sebagai UUD Liberal.

Mungkin saja statementnya benar. Tapi terlambat utk dikatakannya sekarang.

Amandemen UUD 1945 itu secara langsung atau tidak langsung merupakan hasil dari usaha kita semua, bangsa Indonesia. Baik yang memilih maupun yang golput dalam pemilu 1999 dan 2004. DMR dimana ketika itu? Kalau hari ini berteriak, untuk siapa sebenarnya teriakan itu?

Kemudian, asumsinya bahwa lahirnya partai islam baru akan memperkecil partai islam yang sdh ada, mungkin saja benar. Tapi asumsi itu terlalu terburu2. Sebab kedua partai baru tersebut belum juga terdaftar di Kemenkumham. Masih perlu waktu. Bisa saja kemudian menyatu dengan partai yang sudah ada.

DMS selanjutnya menulis: “Hemat saya, kini tiba saatnya ditegaskan bahwa berpolitik praktis bagi setiap warga negara, terutama muslim, tidak harus lewat partai politik. Seperti belajar tidak harus di sekolah, berpolitik bisa di mana saja, kapan saja dan dengan institusi apa saja. Politik sebagai kebajikan publik harus disediakan oleh banyak agen, tidak boleh dimonopoli parpol saja. Ummat Islam bisa mulai dengan dakwah politik dan ekonomi melalui pribadi, keluarga dan masjid.
Masjid sebagai institusi dapat menjadi instrumen konsolidasi”.

Pernyataan DMR tersebut semakin tidak dimengerti. Bisa juga karena kekurangpahamannya terhadap perundang-undangan yg berlaku.

Belajar memang bisa dimana-mana. Di sekolah, di rumah, atau dimanapun. Tapi untuk menjadi PNS, advokat, notaris, dan lain-lain tentu perlu ijazah, bukan?

Belajar tentang politik memang tdk harus lewat parpol. Banyak tempat utk bisa mendalaminya. Tetapi untuk menjadi pelaku politik praktis, tidak ada jalan lain kecuali melalui parpol. Untuk menjadi Presiden, DPR, Gubernur, DPRD, Bupati/Walikota harus melalui parpol. Demikian undang-undang telah mengatur.

Lalu di puncak kebingungannya, DMR berusaha mengajukan alternatif. Dia menulis: “Opsi lainnya adalah menyusupi parpol besar yang ada, seperti yang dilakukan kaum sekuler kiri radikal. Jika mereka berani dan berhasil, mengapa kita tidak?”

Ajakan DMR untuk “Menyusup ke Parpol besar” ini merupakan hal yg paling runyam. Ini menunjukkan sikap frustrasi politik tingkat tinggi. Menunjukkan kurangnya pengalaman dalam politik praktis, serta kedangkalan pemahaman ideologinya. Langkah itu ibarat menggali liang kubur sendiri.

Berapa banyak kawan dan tokoh kita yg berhasil “menyusup”. Dan hilang.
Jangan dianggap parpol (apalagi yg besar) itu seperti remaja masjid atau takmir mushalla. Parpol adalah sebuah mesin besar yg kuat dan keras. Ada proses produksi super hebat dan kompleks di dalamnya. Setiap input yg masuk akan diproses sedemikian rupa shg akan menjadi output seperti yg diinginkan. Mas DMR mau mencoba?
**

Penduduk muslim di Indonesia ada sekitar 87% dari sekitar 270 juta orang. Seharusnya, ummat islam dapat menentukan arah pembangunan negara. Tapi kenyataannya tidak. Mengapa?

Angka 87% itu adalah Angka Statistik. Angka yang diam. Hanya data. Tidak bisa bergerak. Tidak dapat digunakan untuk menggerakkan. Mengubah dan membuat kebijakan menyangkut peri kehidupan berbangsa dan bernegara.

Angka itu baru bisa berfungsi membuat dan mengubah kebijakan kalau sudah berupa Angka Politis. Maka diperlukan adanya proses transformasi dari Angka Statistik menjadi Angka Politik. Proses transformasi itu hanya bisa dilakukan melalui Pemilihan Umum.

Menurut UU Pemilu, peserta pemilu adalah partai politik atau gabungan partai politik. Bukan ormas, perguruan tinggi, perusahaan, pondok pesantren, atau lainya. Hanya parpol saja!

Tugas parpol islam ideologis itu adalah mengikuti pemilu untuk mengakumulasi suara ummat islam dengan mentransformasi Angka Statistik menjadi Angka Politis sehingga menjadi kekuatan ummat dalam memperjuangkan kepentingan dan hajat hidupnya bagi kebaikan bersama bangsa dan negara Indonesia.

Maka keberadaan parpol islam ideologis bagi ummat islam ibarat cangkul atau alat pertanian bagi petani. Keberadaannya adalah keharusan.

Didalam islam kita mengenal kaidah fiqh maa laa yatimmul wajib illaa bihi fahuwa wajib. “Sesuatu yang suatu kewajiban tidak dapat terlaksana kecuali dengan sesuatu itu, maka sesuatu itu hukumnya wajib”. Adanya cangkul dan alat pertanian lainnya adalah wajib bagi petani.

Kalau memperjuangkan kebaikan bangsa dan negara itu wajib, maka keberadaan partai yang dapat mengikuti pemilu untuk mengakumulasikan suara ummat agar menjadi kekuatan yang dapat mengubah dan memperbaiki keadaan itu, tentulah wajib adanya sesuai kaidah tersebut. Pun pula bagi ummat sesungguhnya ada kewajiban itu di masing-masing pundaknya.

Maka kita menjadi ingat akan pesan Buya Mohammad Natsir bahwa sekalipun kecil partai islam itu wajib tetap ada.
**

DMR adalah akademisi yg sekaligus bersentuhan dengan dunia aktifis.

Sebagai akademisi, cita2 dan pikirannya menggantung di langit. Tapi dunia politik praktis itu ada disini, di bumi yg kita injak, di udara yg kita hirup, dalam waktu yg kita jalani.
Mas DMR, turunlah ke bumi!

Sebagai aktifis, DMR cenderung lebih suka melakukan teriakan2 dari luar. Perlu dipahami, keputusan-keputusan politik menyangkut perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara itu diambil didalam ruangan, bukan diluar arena.
Mas DMR, masuklah ke dalam arena!

DMR perlu teman diskusi kritis yg akan mempertajam senjatanya. Sayang kalau senjata itu menjadi tidak optimal hanya karena salah posisi.

Sekiranya tokoh intelektual seperti mas DMR ini bisa turun ke bumi dan masuk kedalam arena, saya yakin Indonesia ini masih sangat luas untuk menyediakan tempat baginya untuk berjuang.

Dalam rangka itu, pesan pak Natsir kiranya perlu menjadi pegangan: “Kita lakukan perjuangan secara sah dan konstitusional”.

Malang,
14/4/2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *